Manasik (6)
Bayar Dam dan Bayar Tol?
Oleh
H. Kaswad Sartono
Menghadapi musim haji 1431 H / 2010 M (13 tahun yang lalu), saya ikut ujian rekrutmen petugas haji kloter, dan saya dinyatakan lulus sebagai petugas Tim Pemandu Haji Indonesia (TPHI) Embarkasi Makassar.
Tugas petugas haji adalah memberikan pelayanan, pembinaan dan perlindungan terhadap jemaah haji secara maksimal, ikhlas, profesional, integritas dan akuntabel sesuai ketentuan yang berlaku.
Ketika mabit di Mina waktu itu, Jemaah Haji yang tergabung dalam kloter yang saya pimpin mendapat lokasi mabit yang berada di wilayah “pengembangan” (Mina Taushi’) yang lebih dikenal oleh Jemaah haji Indonesia “Mina Jadid” atau Mina Baru.
Pada tanggal 10 Dzulhijjah 1431 H, setelah melempar Jamarah Aqabah, tepatnya di dalam tenda, saya sedang duduk-duduk bersama Bapak KH Syamsul Khalik (TPIHI) tiba-tiba didatangi beberapa orang (sekitar 5 orang kalau tidak salah ingat) Jemaah kloter saya dari Kabupaten Maros. Salah satu dari mereka bertanya: “Pak Ustadz, kami datang mau bertanya sekaligus mewakili teman-teman Jemaah haji. Ada 2 hal yang kami tanyakan: “apa betul kalau ambil haji Tamattu’ harus bayar dam? Sedangkan yang Ifrad tidak membayar Dam itu?. Kedua, yang kita tempati Mina atau Muzdalifa? Kami ingin haji kami sah pak ustadz.”
Waktu itu, saya jawab bahwa ada tiga cara melaksanakan ibadah haji yaitu (1) tamattu’, (2) ifrad; dan (3) qiran. Pertama, Haji Tamattu’. Kata tamattu’ berarti bersenang-senang. Maksudnya, orang melaksanakan umrah terlebih dahulu pada bulan-bulan haji, lalu ber-tahallul. Kemudian berniat haji (ihram) di Makkah pada 8 Dzulhijjah (hari Tarwiyah), wukuf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah hingga selesai proses haji. Selama jeda waktu tahallul itu, dia bisa bersenang-senang karena tidak dalam keadaan ihrām tapi dikenakan dam nusuk.
Kedua, Haji Ifrad. Kata ifrād berarti menyendirikan. Artinya, seseorang melaksanakan ibadah haji saja tanpa melaksanakan umrah. Orang yang melaksanakan haji jenis ini tidak dikenakan dam dan dapat dilaksanakan dengan cara, yaitu melaksanakan haji saja (tanpa melaksanakan umrah); atau dengan melaksanakan haji dulu, lalu melaksanakan umrah setelah selesai berhaji.
Ketiga, Haji Qiran. Kata qirān berarti berteman atau bersamaan. Maksudnya, orang melaksanakan haji dan umrah secara bersamaan dengan sekali niat untuk dua pekerjaan, tetapi diharuskan membayar dam.
Kemudian saya lanjutkan: “karena Bapak-Bapak memilih haji Tamattu’ sesuai ketentuan syariat haji, maka wajib membayar dam sebesar sekitar 350 riyal. Boleh melalui Bank Arab Saudi, bisa juga melalui pihak-pihak yang dipercaya.” Salah satu jemaah lainnya, masih bertanya lagi: “Kan kami-kami ini tidak melanggar aturan Ihram, kenapa harus dikenakan denda Dam?”
“Tabe Bapak” saya timpali pertanyaan mereka (karena pikiran saya mereka ini betul-betul belum paham mengenai pembayaran dam), lalu saya bertanya kepada mereka: “Berapa kali Bapak-Bapak ikut Manasik haji ketika di kampung baik di KUA maupun di tingkat kabupaten?”.
Mereka menjawab: “maaf pak Ustadz, kami ini tinggal di desa dan pegunungan, jauh dari kota sehingga kurang sekali mengikuti manasik, hanya 2 kali mengikuti Manasik haji di Departemen Agama?”.
Kemudian saya jelaskan: “Oh karena Bapak-Bapak hanya 2 kali saja, yang seharusnya 10 kali, maka Bapak-Bapak belum paham tentang ketentuan haji.”
Kemudian, saya bertanya kembali: “Bapak-Bapak sudah dapat pembagian Buku Manasik haji dari Departemen Agama?” mereka menjawab: “Sudah Pak.” Kemudian saya tanya lagi: “Lalu, sudah dibaca?” “Sebagian Pak” jawabnya.
Karena mereka ini, Jemaah yang masih awam, usianya rata-rata sudah 50-an tahun, tinggal di desa dan pegunungan, kurang sekali mengikuti manasik haji yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) di setiap kecamatan, maka saya berpikir keras untuk bisa memberikan penjelasan masalah dam itu sesuai kadar kemampuan mereka.
Saya tidak tahu, tiba-tiba saya memperoleh semacam “ilham” dari Tuhan untuk menjelaskan dengan menggunakan logika atau qiyas-lah dari kehidupan sosial masyarakat.
Waktu itu, bertempat di tenda Jemaah haji di Mina, didampingi Bapak Drs. KH. Syamsul Khalik sebagai TPIHI, yang waktu itu juga sebagai Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Maros dan kini beliau sebagai Ketua MUI Kab. Maros, saya bertanya kepada di antara mereka. “Ohya, siapa di antara Bapak yang pernah ke Makassar lewat jalan tol?”, “Saya Pak” jawab salah satu di antara mereka. “Berapa kali” tanya saya. “Sering sekali Pak” jawabnya mencoba meyakinkan saya.
Lalu saya teruskan pertanyaan: “Waktu lewat jalan tol, Bapak bayar atau gratis?”. “tentu bayar Pak” Jawab dia. Lanjut saya: “Andaikata Bapak tidak bayar tol, apakah Bapak diperbolehkan masuk tol?” Dia menjawab: “Pasti tidak diperbolehkan Pak”. Lalu saya tanya lagi: “Apakah Bapak melakukan pelanggaran lalu lintas, ketika hendak masuk tol tersebut?” Jemaah itu dengan cepat menjawab: “Tidak Pak!”.
Lalu, saya bertanya lagi: “Kenapa Bapak harus membayar dam, padahal Bapak tidak melanggar lalu lintas?”. Orang ini akhirnya diam. Lalu saya sambung: “itulah sistem”.
Dari dialog saya dengan jemaah haji itu, kemudian saya menjelaskan bahwa antara haji dengan tol itu ada persamaannya yaitu keduanya mempunyai sistem atau aturan. “Nah itulah sistem atau aturan, bahwa barang siapa masuk tol dengan mengendarai mobil, maka dia wajib membayar tol. Begitu juga dalam haji, barang siapa melakukan ibadah haji dengan cara Tamattu’, maka dia wajib bayar dam. Namanya dam nusuk” Itulah sistem yang wajib ditaati.”
Akhirnya, saya menasihati mereka dengan kalimat: “Karena Bapak-Bapak dan jemaah lainnya mengambil haji tamattu’, maka menurut syariat Islam, agar haji Bapak sah, dan mudah-mudahan menjadi mabrur, maka Bapak wajib membayar dam.”, Alhamdulillah mereka paham dan menjawab: ”Iye, pak Ustadz, kami paham, terima kasih atas bimbingan Bapak, Insya Allah kami bayar dam”.
Walhasil, bimbingan manasik haji memang membutuhkan wawasan dan multi pendekatan termasuk mengungkap dan menemukan kasus-kasus dari kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan sebagai bentuk discovery learning, salah satunya adalah pembayaran tol sebagai “qiyas” dalam pembayaran dam nusuk. Wallahu a’lam bi al-shawab
Dr. H. Kaswad Sartono
Kabiro Akadmik, Kemahasiswaan, dan kerjasama UIN Alauddin Makassar
Mantan Kabid Haji dan Umrah Kanwil Kemenag Sulsel
Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Makassar