Kemenag Sulsel

Perlindungan Hak-Hak Dasar Umat Beragama  Perspektif Negara Hukum Pancasila

Perlindungan Hak-Hak Dasar Umat Beragama
Perspektif Negara Hukum Pancasila

Dr. Budiarti SHI.M.H


Kajian ini bertujuan untuk melihat bagaimana perlindungan hak-hak dasar umat beragama perspektif negara hukum Pancasila. Perlindungan hak-hak dasar beragama sebagai bentuk HAM yang menjadi hak konstitusional tiap warga negara mendapat jaminan dari negara sebagaimana termaktub dalam UUDNRI 1945. Jaminan tersebut merupakan prinsip dasar dan karakteristik negara hukum Indonesia yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menegaskan bahwa agama dan negara dalam konteks negara hukum Indonesia mempunyai relasi yang kuat dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. karenanya, memperhatikan nilai-nilai agama dalam perumusan suatu produk perundang-undangan adalah hal yang perlu mendapatkan perhatian prioritas sebagai pijakan dasar menentukan arah pembangunan bangsa, dan negara.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Hak-hak Dasar Beragama, Negara Hukum Pancasila

A. Pendahuluan
    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945 berfungsi sebagai dasar untuk penyelenggaraan negara Republik Indonesia dan proses pembangunan lainnya, termasuk pembentukan hukum nasional. Karena itu, sejak amandemen konstitusi ini, pembangunan hukum nasional telah berkembang menjadi suatu tatanan hukum yang tidak hanya berfungsi sebagai sumber persuasif dan otoritatif dalam pembentukan hukum nasional, tetapi juga menjadi norma dasar (grundnorm) untuk penyelenggaraan kekuasaan negara.
Pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, Konstitusi negara Republik Indonesia UUD Tahun 1945   mengalami perubahan dan amendemen. Konstitusi tersebut telah berubah banyak. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (juga dikenal sebagai UUDNRI 1945) awalnya terdiri dari 71 ayat atau butir ketentuan, tetapi setelah perubahan keempat, itu menjadi 199 ketentuan yang tercermin dalam rumusan ayat-ayatnya. Perubahan-perubahan ini telah membuat UUDNRI 1945 memiliki lebih banyak materi hukum dasar dan lebih luas cakupannya.      
Oleh karena itu, undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi harus direvisi karena melanggar prinsip negara hukum Indonesia. Selanjutnya, hukum nasional tidak boleh lagi bertentangan dengan konstitusi. Dalam semangat konstitusionalisme Indonesia, jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) diperluas dalam pasal-pasal UUD 1945, yang merupakan kemajuan dalam membangun pondasi hukum bernegara untuk memperkuat kontrak antara penguasa dan rakyat. Dengan membatasi kekuasaan untuk mencegah kesewenang-wenangan dan memastikan bahwa hak-hak manusia dihormati, dilindungi, dan dipenuhi, konstitusionalisme harus menjadi dasar bangunan politik hukum konstitusinya.
Perubahan-perubahan tersebut tidak hanya mengubah tulisan, tetapi juga ide-ide yang dimasukkan ke dalamnya. Selain itu, lembaga negara mengalami perubahan dalam keanggotaan, fungsi, dan hubungan fungsional.  Semua orang tahu bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945. Segala bentuk hak asasi manusia dilindungi di negara hukum. Salah satunya adalah kebebasan beragama, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dan diberikan oleh Tuhan yang Maha Kuasa dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun di dunia ini. Untuk bertahan hidup di dunia ini, manusia harus melindungi dan menjaga anugerah yang diberikan kepadanya. Ini termasuk mengekspresikan kebebasan beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan umum, memakmurkan, dan mencapai keadilan sosial, UUDNRI 1945 menggariskan tujuan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, konstitusi Indonesia menjamin bahwa rakyatnya tidak akan didiskriminasi berdasarkan agama, ras, jenis kelamin, atau atribut lainnya. Dalam menjalankan kehidupan nasional dan internasional, Indonesia menggunakan instrumen yuridis sebagai negara hukum. 
Perlindungan konstitusional dalam beragama secara tegas dimuat dalam Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (2) UUDNRI 1945sebagai refleksi keinginan bangsa Indonesia sebagai bangsa masyarakat pluralistik dan beragam dari segi  ras, etnis, agama, dan budaya. yaitu:
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali;
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. 
Pasal 28 E UUDNRI 1945, ayat (1) dan (2), berhubungan dengan Pasal 29 UUDNRI 1945, yang menjamin kemerdekaan agama dan kepercayaan setiap penduduk. Ini berarti bahwa negara bertanggung jawab untuk menjamin dan melindungi kebebasan setiap orang untuk menganut agama yang mereka yakini secara mandiri dan bebas dari tekanan atau pengawasan untuk mengekspresikan agama mereka sesuai dengan pemahaman dan keyakinan mereka.
Konsep ini berkaitan dengan gagasan bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri utama sebagai negara yang berbasis agama.  Tidak ada situasi yang dapat mengubah prinsip dasar negara, yaitu bagaimana negara menjalankan kekuasaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika Anda ingin mengubahnya, Anda harus mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini merupakan landasan dasar untuk pengelolaan dan penegasan arah pembangunan bangsa dan negara yang menghindari kehidupan tidak beragama. Selain itu, nilai-nilai ajaran agama selalu digunakan dalam pembuatan kebijakan untuk mendukung cita-cita berbangsa dan bernegara.
Konsep ini mempunyai relevansi dengan konsep negara hukum Indonesia yang berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa sebagai salah satu ciri pokok bangsa religious. Penyelenggaraan kekuasaan Negara berdarakan Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan norma dasar negara (Staatfundamentalnorm) yang tidak dapat dirubah dalam keadaan apapun. Merubahnya berarti merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini merupakan landasan dasar dalam pengelolaan dan penegasan arah pembangunan bangsa dan negara yang jauh dari kehidupan tidak beragama dan senantiasa menjadikan nilai-nilai ajaran agama dalam membuat suatu kebijakan menuju cita-cita berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, negara bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan hukum untuk memastikan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara secara efektif agar warganya memiliki martabat baik di dunia maupun di akhirat. Kegagalan negara untuk memenuhi tanggung jawab konstitusionalnya untuk melindungi kebebasan beragama merupakan pengingkaran terhadap tanggung jawabnya untuk melindungi, menghormati, memajukan, dan menegakkan hak konstitusional warga negara. Ini berarti mengakui suatu negara yang tidak mengikuti nilai-nilai sebagai negara hukum yang ditetapkan dalam UUDNRI 1945. Berkaitan dengan hal ini, penulis ingin melihat dari sudut pandang negara hukum dan ham tentang cara perlindungan hak-hak dasar beragama dilaksanakan secara konstitusional.  

B.    Prinsip Dasar Kebebasan Beragama
        Banyak negara sekarang menghormati hak-hak asasi manusia dan berusaha untuk melindunginya dari segala bentuk ancaman terhadap kebebasan. Kebebasan adalah tolak ukur kemajuan masyarakat dan negara. Suatu masyarakat dianggap berperadaban dan bernilai tinggi ketika mereka menghormati kebebasan. Sebaliknya, suatu negara atau bangsa dapat dianggap mengalami keterbelakangan jika mereka menyia-nyiakan hak asasi manusia.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, kebebasan menurut hukum berarti sesuatu yang membedakan manusia dengan lainnya, sehingga dengan kebebasan itu, manusia dapat bertindak, berkata, dan berbuat apa yang mereka inginkan tanpa paksaan, tetapi hanya dalam batas-batas tertentu. 
Dari apa yang disebutkan di atas, jelas bahwa kebebasan tidak bersifat mutlak dan bahkan memiliki batas, yaitu hanya untuk melakukan hal-hal yang tidak merugikan orang lain. Oleh karena itu, agar kebebasan tidak berlebihan atau salah, harus ada batasan yang jelas untuk mencegahnya menjadi despotisme. Maksud kebebasan yang umum adalah bahwa kebebasan harus diterapkan untuk semua orang berdasarkan undang-undang atau rekomendasi yang mengatur setiap orang tanpa membedakan atau mengutamakan caranya digunakan. Oleh karena itu, kebebasan memiliki beberapa ikatan dan pengecualian yang dimaksudkan untuk membentuknya.
Selain itu, Wahbah al-Zuhaili membagi kebebasan menjadi dua kategori: Pertama, bersifat materi atau berhubungan dengan kepentingan individu. Ada empat jenis kebebasan ini: kebebasan individu, kemerdekaan kepemilikan atau hak untuk memiliki, kebebasan bertempat tinggal dan menjaga privasinya, kebebasan bekerja, berniaga, dan berproduksi, dan kebebasan yang bersifat maknawi. Kedua, berkaitan dengan kepentingan individu yang bersifat maknawi, termasuk kebebasan beragama, berpendapat, berserikat, pers, dan mendirikan lembaga LSM, dan kebebasan belajar dan berkarya. 
    Namun, Ensiklopedi Hukum Islam membagi kebebasan menjadi beberapa kategori, seperti: kebebasan berpikir, kebebasan berbicara, kebebasan berpendapat, kebebasan dari kekurangan dan kemelaratan, kebebasan dari perbudakan dan penjajahan, dan kebebasan beragama. 
Kebebasan beragama terkait erat dengan martabat dan kemuliaan manusia. Semua orang tahu bahwa Tuhan memberi manusia akal pikiran, kelengkapan yang unik dan penting yang tidak ditemukan pada makhluk lain. Akal pikiran memberi manusia kebebasan penuh untuk memilih agama atau keyakinan apa yang akan mereka anut. Ini berarti bahwa setiap orang berhak atas kehormatan spiritual jika mereka memilih agama yang mereka yakini secara sukarela tanpa dipaksa.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat berbicara tentang aspek-aspek kebebasan beragama adalah kebebasan untuk memilih agama, kebebasan untuk bertukar pikiran tentang masalah agama, kebebasan untuk yakin terhadap agama yang dianut sebagai syarat sahnya iman, dan kebebasan untuk berijtihad. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, setiap negara seharusnya memiliki instrumen sebagai institusi yang memiliki otoritas tertinggi. Ini adalah hal yang sangat penting dan penting untuk kebutuhan dan kebebasan kehidupan sosial.
Adapun kebutuhan dan kebebasan yang harus mendapat jaminan perlindungan dalam negara  adalah sebagai berikut:
1.    Jaminan terhadap kebebasan dalam beragama;
2.    Jaminan akan adanya perlindungan terhadap kebebasan berfikir;
3.    Perlindungan terhadap kebutuhan akan kebebasan mendapatkan harta, sandan dan pangan;
4.    Perlindungan terhadap kebebasan dan kebutuhan untuk melestarikan dan memelihara keturunan;
5.    Adanya jaminan terhadap kebutuhan dan kebebasan untuk melangsungkan hidup dan keselamatan jiwa.  

    Pada dasarnya, kebebasan beragama adalah bagian dari HAM karena kebebasan beragama adalah hak yang diberikan kepada setiap orang berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan bukan karena diberikan kepada mereka oleh masyarakat, negara, atau institusi agama. Hak beragama tidak dapat dihalangi atau dilarang oleh masyarakat, negara, atau institusi agama mana pun. Oleh karena itu, penghormatan terhadap keabsahan beragama sebagai HAM merupakan implementasi dari penghormatan terhadap martabat manusia, yang menuntut bahwa setiap orang diperlakukan dengan tujuan untuk dirinya sendiri.
Negara tidak dapat mengatur bagaimana seseorang beragama atau menjalani kehidupan agama sehari-harinya. Selain itu, mewajibkan seseorang untuk menganut agama tertentu. Negara tidak berhak menetapkan bahwa ini adalah agama atau tidak. Yang diatur oleh negara adalah bagaimana setiap warganya dapat menjalani kehidupan beragamanya secara bebas dan memberi inspirasi untuk kemajuan masyarakat dan bangsa. Dalam konteks Indonesia, yaitu sebuah masyarakat yang berkeadilan, demokratis, dan menghargai pluralitas. Institusi agama pun tidak bertanggung jawab untuk mengatur kehidupan beragama individu. Mereka hanya menangani masalah administrasi, bukan mengatur bagaimana orang harus menjalani kehidupan beragama mereka dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu, kebebasan beragama didefinisikan sebagai kebebasan atau kemerdekaan setiap orang untuk meyakini dan memeluk agama tertentu, serta beribadat menurut ajaran agama yang dianutnya secara bebas dan tanpa gangguan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini bertujuan untuk mencegah kebijakan sosial atau keputusan sehari-hari yang mempertahankan ketidaksetaraan dan perlakuan yang tidak adil berdasarkan agama.

C.    Karakteristik Negara Hukum dan Perlindungan Hukum
Upaya untuk melindungi pemerintahan negara dari tindakan sewenang-wenang pemerintah, konsep negara hukum sangat penting. Sarana untuk mengontrol tindakan pemerintah tersebut adalah hukum dan objek atau sasaran yang perwujudan negara hukum dalam kehidupan nasional akan membawa konsekuensi bahwa perlindungan hukum telah ada.
Negara hukum adalah negara yang memiliki konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada beberapa komponen pemerintahan berkonstitusi. Pertama, pemerintahan beroperasi berdasarkan hukum yang ditetapkan secara umum, bukan hukum yang dibuat sewenang-wenang yang menyampingkan konstitusi. Kedua, pemerintahan berkonstitusi beroperasi berdasarkan keinginan rakyat, bukan karena tekanan atau paksaan.  Untuk mencapai dan menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup setiap warga negara, manusia harus dididik untuk menjadi warga negara yang baik dan bersusila, yang pada gilirannya akan menunjukkan orang yang adil. Suatu negara hukum muncul apabila keadilan dijamin.
Filosofis Islam, seperti yang dijelaskan oleh Tahir Azhary , yang membahas konsep negara hukum Ibnu Khaldun. Dia berpendapat bahwa ada dua jenis negara hukum: Siyasah diniyah (yang merupakan bentuk demokrasi Islam) dan Siyasah aqliyah (yang merupakan bentuk demokrasi sekuler). Berdasarkan prinsip yang membedakan kedua jenis negara hukum ini, nomokrasi Islam mengatur kehidupan bernegara dengan hukum Islam (syari'ah) dan rasio manusia; nomokrasi sekuler hanya menggunakan hukum hasil pemikiran manusia. Pemikiran negara hukum yang sekuler ini digunakan oleh negara Barat.  
Sementara di Eropa Kontinental, konsep negara hukum sebagaimana dikemukakan Immanuel kant, yang dikenal negara hukum liberal atau Nactwakerstaat. Dikatakan negara hukum liberal karena konsep Kant bernafaskan paham liberal yang menentang kekuasaan absolut para raja pada waktu itu dan dikatakan Nactwakerstaat karena negara hanya berfungsi seperti penjaga malam/menjaga keamanan dalam arti kata sempit. 
Konsep negara hukum menurut Kant sebagaimana dikutip oleh  Busroh  mengandung dua unsur yang penting; yaitu :
1.    Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia;
2.    Pemisahan kekuasaan. Dengan pemisahan kekuasaan maka Hak Asasi Manusia akan mendapat perlindungan dan inilah yang menjadi tuntutan borjuis liberal yang diperjuangkannnya melalui revolusi perancis .

Bahwa kemudian, dengan kedua unsur negara hukum tersebut belumlah dapat mencapai tujuan yang memuaskan. Campur tangan pemerintah ternyata masih diperlukan terutama untuk menjamin urusan  kemakmuran rakyat. Tetapi harus di batasi oleh undang-undang supaya penguasa tidak berbuat sewenang-wenang. Oleh karena itu mulailah berdiri konsep negara social service state. 
Menurut F.J.Stahl sebagaimana diuraikan oleh Busroh bahwa suatu negara hukum (Rechtstaat) haruslah memenuhi empat unsur penting; yaitu:
1.    Adanya jaminan atas hak-hak dasar manusia;
2.    Adanya pembagian kekuasaan;
3.    Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum;
4.    Adanya peradilan administrasi. 
Konsep negara hukum ini, oleh Friedrich Julius Sthall mempergunakan “rechtstaat” terhadap negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara hukum yang mempunyai tugas mengutamakan kepentingan seluruh rakyatnya, tetapi dalam mencampuri urusan kemakmuran rakyatnya, pemerintah dibatasi undang-undang agar tidak berbuat sewenang-wenang. Apabila timbul perselisihan antara pemerintah dengan rakyatnya maka akan diselesaikan oleh suatu Peradilan Administrasi yang berdiri sendiri.
Ada istilah lain yang juga berkaitan dengan konsep negara hukum yaitu “The Rule Of Law”. Konsep negara hukum sistem Anglo Saxon, yang dikenal dengan The Rule Of Law, menurut A.V.Dicey mengandung tiga unsur penting yaitu :
1. Supremacy Of Law
2. Equality Before The Law
3. Human Rights 

Sedangkan prinsip-prinsip negara hukum menurut al-Qur’an dan Sunnah yang menurut Muhammad Tahir Azhary (1992) sebagai berikut :
1.    Prinsip Kekuasaan Sebagai Amanah
2.    Prinsip Musyawarah
3.    Prinsip keadilan
    4.    Prinsip persamaan
    5.    Prinsip Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hak-Hak Asasi Manusia. 
    6.    Prinsip Peradilan Bebas
    7.    Prinsip Perdamaian
    8.    Prinsip Kesejahteraan
    9.    Prinsip Ketaatan Rakyat 

Sembilan prinsip umum negara hukum tersebut memiliki nilai-nilai universal dan berlaku untuk semua orang. Dengan ciri-ciri ini, nomokrasi Islam tidak dapat dianggap kaku. Setiap saat, penerapan prinsip-prinsip tersebut dapat berubah dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, dalam nomokrasi Islam, ada pilihan untuk memutuskan bagaimana prinsip-prinsip umum negara hukum menurut al-Qur'an dan Sunnah dapat diterapkan.
Prinsip-prinsip konsep negara hukum termasuk pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, negara berdasarkan teori Trias Politica, pemerintahan dibentuk berdasarkan Undang-Undang, ada peradilan administrasi negara yang menangani kasus perbuatan melanggar hukum pemerintah (Onrechtmatiqe Overheidsdaad), kepastian hukum, persamaan, demokrasi, dan pemerintahan yang mengutamakan kepentingan umum.
Setiap konsep negara hukum apakah itu berasal dari tradisi Eropa Kontinental dengan Rectstaat, tradisi Anglo Saxon dengan Rule of Law, atau konsep Islam pada dasarnya sama: setiap warga negara memiliki hak-hak dasar yang tidak boleh diganggu oleh orang lain, dan negara bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak ini.        
Oleh karena itu, dalam negara hukum harus ada perlindungan hukum. Perlindungan hukum secara operasional dapat didefinisikan sebagai ketersediaan instrumen hukum, baik formal maupun materil, yang dapat digunakan oleh negara dan warganya untuk menyelesaikan setiap kasus yang terjadi dalam kehidupan nasional.        

D.    Perlindungan Hak Dasar Beragama Perspektif Negara Hukum Pancasila
Dalam pembukaan UUDNRI 1945, Pancasila sebagai landasan filosofi Negara disebutkan. Ini sebenarnya mencerminkan seluruh substansi konstitusi. Walaupun telah diubah beberapa kali, setiap perubahan harus menghidupkan kembali landasan ideal tersebut. Bahwa para founding fathers telah meletakkan rumusan UUDNRI 1945 dengan mencantumkan nilai-nilai agama sebagai berikut:
    1.    Pembukaan Alinea ketiga yang menyatakan, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa …”
    2.    Pembukaan Alinea keempat yang menyatakan, ”… berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa…”
    3.    Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan, “… Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji…”
    4.    Pasal 28E ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…”
    5.    Pasal 28E ayat (2) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan…”
    6.    Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan,“… hak beragama…”
    7.    Pasal 28J ayat (2) yang menyatakan, “… nilai-nilai agama…”
    8.    Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
    9.     Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan, “Negara   menjamin   kemerdekaan   tiap-tiap    penduduk   untuk   memeluk agamanya masing-masing…”
    10.    Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan, “… meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia…” 

Dalam konteks negara hukum Indonesia, rumusan-rumusan tentang nilai agama dalam UUDNRI 1945 menunjukkan bahwa agama dan negara mempunyai hubungan yang kuat satu sama lain dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Oleh karena itu, nilai-nilai agama harus menjadi perhatian utama ketika membuat peraturan, regulasi, dan produk hukum lainnya. Ini harus menjadi dasar yang menentukan arah pembangunan bangsa dan negara.    
Konstitusi Indonesia, yang didasarkan pada Pancasila sebagai dasar negara, mengakui bahwa melindungi hak-hak dasar umat beragama adalah pilar utama dalam menciptakan masyarakat yang adil dan beradab. Sistem negara hukum menjamin hak-hak ini, dan setiap warga negara berhak untuk hidup tanpa diskriminasi atau pelanggaran hak asasi manusia. Dalam artikel ini, kami akan membahas beberapa bentuk perlindungan hukum hak-hak dasar umat beragama yang harus dijamin oleh negara hukum di Indonesia berdasarkan konstitusi Pancasila.
1.    Kebebasan Beragama
Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan menjalankan agama atau kepercayaan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Negara tidak memihak kepada salah satu agama tertentu dan tidak memaksakan kepercayaan tertentu pada warganya. Kebebasan beragama ini memberikan ruang bagi umat beragama untuk menyatakan keyakinannya, beribadah, mempraktikkan ajaran agamanya, dan membangun tempat-tempat ibadah dengan bebas.
2.    Perlindungan Anti-Diskriminasi
Selain itu, umat beragama dilindungi dari diskriminasi oleh konstitusi Indonesia. Setiap orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, menurut Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Tidak ada alasan yang dapat digunakan untuk mendiskriminasi seseorang berdasarkan agama, suku, ras, gender, atau latar belakang sosialnya. Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah intoleransi dan ketidakadilan berdasarkan agama.
3.    Mengakui Keberagaman Agama
Negara hukum Pancasila mengakui pluralitas agama di Indonesia. Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama mereka sendiri dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka. Ini menunjukkan bahwa negara tidak hanya melindungi kebebasan beragama, tetapi juga menghormati dan mengakui banyak agama yang dianut oleh warga negaranya.
4.    Perlindungan terhadap Tempat  Ibadah
Konstitusi juga melindungi tempat ibadah. Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara memberikan kebebasan kepada setiap warganya untuk memeluk agama mereka sendiri dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab untuk menjaga tempat ibadah dari gangguan atau perlakuan yang tidak adil.
5.    Larangan Kebencian dan Penodaan terhadap Agama
Larangan penodaan agama juga merupakan bagian dari perlindungan hukum bagi hak-hak dasar umat beragama. Menurut Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, setiap orang berhak untuk mengekspresikan pikiran dan sikap mereka secara bebas, termasuk kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat mereka, tetapi dengan batas-batas yang ditetapkan oleh undang-undang untuk menjaga ketertiban umum, menghormati hak orang lain, dan melindungi agama, suku, ras, dan golongan tertentu. Larangan ini dibuat untuk mencegah penyebaran kebencian dan konflik agama.
Sebagai bangsa yang sebagian besar masyarakatnya menganut Agama Islam, negara dalam mengakomodasikan kepentingan spiritual masyarakat tetap berpegang teguh pada sila-sila Pancasila sebagaimana diatur dalam pasal 29 UUDNRI 1945  yang berbunyi :
    (1)    Negara berlandaskan atas ketuhanan yang Maha Esa;
    (2)    Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Apabila dilihat UUDNRI 1945 Pasal 28 E  yang berbunyi sebagai berikut:
    1.    Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut    agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali;
    2.    Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya;
    3.    Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 29 UUDNRI 1945 ditafsirkan sebagai suatu kemerdekaan atau kebebasan untuk memeluk agama dan mengekspresikan ajaran agama yang dianut dan diyakini serta mencerminkan prinsip-prinsip negara hukum tanpa pembatasan dari pihak mana pun. Ayat (1) dan (2) dari pasal 28 E tersebut sangat terkait.
Produk hukum sebagai tindak lanjut dalam memberikan instrumen yuridis untuk jaminan konstitusional yang berkaitan dengan kebebasan di bidang agama. Hanya ada beberapa instrumen, termasuk produk hukum yang berkaitan dengan perkawinan, penyiaran agama, dan pembentukan tempat ibadah. Banyak orang menganggap produk hukum ini tidak sesuai dengan UUDNRI 1945. karena memberi kesan bahwa ada batasan bagi mereka yang menganut agama tersebut untuk menyampaikan ajaran agama mereka.
Dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, setiap individu harus dilindungi dan dihormati hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Dengan cara yang sama, hak konstitusional untuk kebebasan bidang agama, seperti penyiaran keagamaan dan ekspresi keagamaan yang dilakukan di luar rumah, harus dipertimbangkan. Mengandung tanggung jawab untuk menghormati hak konstitusional orang lain. Oleh karena itu, untuk menghindari hambatan dalam pelaksanaan hak konstitusional tersebut, negara harus membuat undang-undang yang mengatur pelaksanaan hak konstitusional tersebut, seperti undang-undang yang mencegah penyalahgunaan dan penodaan agama serta undang-undang perkawinan yang mencegah perkawinan antara orang yang berbeda agama.
Sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam semangat dan ruh pasal 28J UUDNRI 1945, membatasi kebebasan beragama secara liberal yang berasal dari luar, seperti melarang penyiaran keagamaan tanpa batas atau pelarangan perkawinan beda agama, adalah tindakan konstitusional.Namun demikian, pemerintah secara keseluruhan, baik eksekutif maupun legislatif, harus segera membuat undang-undang tentang kebebasan beragama untuk meningkatkan kerukunan umat. Hal ini disebabkan fakta bahwa undang-undang seperti undang-undang yang mengatur penyiaran agama sudah tidak relevan dengan kemajuan saat ini. 
Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan membangun kesejahteraan hidup bersama seluruh warga negara dan pemeluk agama adalah tujuan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan kebebasan beragama, termasuk kerukunan hidup umat beragama, merupakan hambatan yang cukup besar untuk mewujudkan keutuhan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Berbagai perbedaan, baik horizontal maupun vertikal, menandai kemajemukan masyarakat. Perbedaan horizontal mencakup kesatuan sosial yang didasarkan pada bahasa, adat istiadat, dan agama, sedangkan perbedaan vertikal mencakup perbedaan lapisan atas dan bawah masyarakat yang sangat tajam di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Akibatnya, dalam situasi seperti ini, perlu ada tindakan pencegahan dengan memberikan instrumen hukum yang lebih responsif untuk melaksanakan kebebasan beragama sesuai dengan perkembangan zaman.
Membangun kebebasan beragama untuk menghasilkan kerukunan umat beragama yang harmonis adalah tugas yang berat. Agenda ini harus dilaksanakan dengan hati-hati karena agama lebih berfokus pada perasaan daripada rasio, lebih menekankan kebenaran daripada mencari kebenaran. Di sinilah negara harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan bekerja sama dengan para tokoh agama, terutama para penyuluh agama dari masing-masing agama, yang bertanggung jawab untuk memberikan contoh teladan bagi umat beragama untuk mengamalkan dan memahami ajaran agama yang bertujuan untuk keselamatan setiap orang untuk hidup secara damai, rukun, sejahtera lahir dan batin.  

D. P E N U T U P
Dari sudut pandang negara hukum Pancasila, perlindungan hak-hak dasar beragama merupakan perlindungan yang menegasikan pelaksanaan kebebasan beragama secara liberal. Pembatasan ekspresi keagamaan secara bebas tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum Indonesia dan hak asasi manusia. Sebagai bagian dari ham, kebebasan beragama dapat dibatasi oleh negara hukum Indonesia dengan undang-undang. Pembatasan ini telah menjadi hak konstitusional warga negara sepanjang tidak membatasi hak-hak tersebut melalui produk perundang-undangan. Salah satu pilar utama sistem negara hukum Pancasila di Indonesia adalah perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar umat beragama. Negara harus memberikan perlindungan seperti kebebasan beragama, perlindungan terhadap diskriminasi, pengakuan terhadap keberagaman agama, perlindungan tempat ibadah, dan larangan penodaan agama. Dengan perlindungan hukum ini, diharapkan setiap warga negara Indonesia dapat hidup berdampingan dengan aman dan menghormati hak-hak asasi manusia.
Karena itu kajian ini menegaskan bahwa agama dan negara dalam konteks negara hukum Indonesia mempunyai relasi yang kuat dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, maka produk hukum yang berkaitan dengan jaminan perlindungan konstitusional kebebasan beragama yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi pada era sekarang ini hendaknya dianulir. Walaupun produk hukum tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi, namun demi terwujudnya kehidupan harmonis dalam mengekspresikan kebebasan beragama maka sangat perlu dan urgen untuk segera merumuskan undang-undang tentang kebebasan beragama. 

DAFTAR  PUSTAKA

Adji, Oemar Seno. Peradilan Bebas Negara Hukum.  Jakarta: Erlangga, 1980.
Aswanto, Instrumen Hukum Penegakan HAM. “Clavia”. Vol. 1. 2002
Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum; Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam. Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Cet. I; Jakarta : Bulan Bintang, 1992
Azhary, Tahir. Negara Hukum; Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam: Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Cet. I; Jakarta : Bulan Bintang, 1992
Azhary. Negara Hukum Indonesia ,Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya (Jakarta: UI-Press, 1995), h. 21
Budiardjo, Miriam. Mencari Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Mizan Pustaka, 1998.
Busroh, Abu Daud. Asas-Asas Hukum Tata Negara. Cet. II; Ghalia Indonesia: Jakarta, 1985
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II. Cet. I; Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996
Darwan, Prinst. Sosialisasi  dan Desiminasi Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia.  Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001
Hadjon, Philipus M.  Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia; Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penangananya oleh Pengadilan dalam  Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987
Haq, Hamka. Falsafat Ushul Fiqhi. Makassar: Yayasan al-Ahkam, 2003
J.N.D, Anderson.   Islamic Law in the Modern World, diterjemahkian oleh Machnun Husein dengan judul, Hukum Islam di Dunia Modern. Cet. I; Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1994.
Lopa, Baharuddin. Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa,1996.
Naim, Abdullahi Ahmed. Toward an Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Rights and International Law, diterjemahkan oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani dengan judul, Dekonstruksi Syariah ; Wacana Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam. Cet. I; Yogyakarta : LKiS, 1994
Rahman, Budhy Munawwar. Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran di Kanvas Peradaban, Jilid II .nCet. I; Bandung: Mizan Dian Semesta Paramadina, 2006
Rahman, Budiarti A. Perlindungan Hak Konstitusional Pasca Amandemen UUD 1945 Perspektif Maqashid al-Syari’ah. “Disertasi” Program Pascasarjan UIN Alauddin Makassar, 2011. h. 18-19. 
Rahman, Budiarti A. Ham Dalam Terminologi Doktrin Hukum Islam. http://journaliaingorontalo.ac.id/index.php/am; E ISSN 2442-8256. Volume 11 Nomor 1 Juni 2015
Syathibi, Abu Ishak. al-Muwafaqat  Fi Ushul al-Syariah, Jilid II. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, t.th. h. 8
Thontowi, Jawahir. Hukum Internasional di Indonesia: Dinamika dan Implementasinya dalam Beberapa Kasus Kemanusiaan. Cet. I; Yogyakarta: Madyam, 2002
Ubaidillah, A. et al., Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani. Cet. I; Jakarta : IAIN Jakarta Press, 2000
Zuhaili, Wahbah. Haqqul al-Hurriyah Fi al- ‘Alam diterjemahkan oleh Ahmad Minan dan  Salafuddin Ilyas dengan judul Kebebasan dalam Islam. Cet. I; Jakarta : Pustaka al-Kausar, 2005.


Opini LAINNYA

Berada di Tengah Itu Asyik

Cara Mengurus Produser Nikah

HAB Asasi Manusia

Pendidikan Agama Islam Bagi Anak Usia Dini