Oleh : H. Aliem Bahri
(Penghulu Muda pada KUA Bontomarannu Gowa)
Usai sholat ashar, beberapa jamaah segera berhamburan keluar masjid. Entah urusan sepenting apa yang memaksa mereka segera keluar. Mungkin ada proyek ratusan juta yang mereka kejar, atau ada hal yang emergency hingga tak sempat berzikir dan berdoa.
Tapi apapun itu, stop. Sudahlah. Saya dan kita semua tidak perlu berasumsi liar.
Toh bersegera keluar dari masjid setelah sholat bukan perbuatan pidana, bukan asusila apalagi sexual harassement alias pelecehan seksual, hehe...
Sebagian jamaah masih di posisi duduk tahiyat. Menengadahkan tangan, penuh khusyuk dalam munajat.
Pak Sidiq berdoa, meminta agar rejekinya makin banyak agar bisa mudah membeli kuota internet.
Sedang Pak Bur berdoa agar musim hujan edisi tahun ini tidak dibarengi bencana banjir parah.
Di sudut masjid, Dg.Ngopa pun komat kamit merapal doa semoga PSM menang terus dan stadion pengganti Mattonging bisa segera dibangun agar tidak perlu ke Pare-pare menonton PSM saat menjamu lawan.
Saya melihat Ammar dan Gelo beriringan keluar. Mungkin mereka ingin melanjutkan diskusi tentang moderasi tadi.
Saya mengikuti keduanya ke arah kantin.
"Jadi kau sudah paham apa itu moderasi, Mar?," Gelo langsung menyodorkan pertanyaan.
"Ya, tahulah" jawab Ammar. Jawaban yang singkat, padat dan tidak jelas.
"Tahu bagaimana?" Cecar Gelo.
"Moderasi itu adalah cara pandang kita sebagai sebagai umat Islam untuk tidak condong ke arah yang ekstrim dan tidak merasa paling benar sendiri lalu mengejek kelompok lain atau umat agama lain," jelas Ammar serius.
Memangnya moderasi hanya untuk umat lslam saja,Mar?"
"Iyalah, untuk lslam saja"
"Tidak untuk umat lain?"
"Tidaklah! Hmm..kira kira begitulah," tandas Ammar merasa agak terpojok.
Ada nada tidak yakin dari jawaban Ammar.
Gelo memandangku, seperti berharap saya memberi klarifikasi.
"Begini, anak anakku yang cantik," saya mulai membuka pembicaraan.
"Sangat betul kata Ammar tadi, bahwa moderasi itu cara pandang tentang bagaimana kita beragama yang sejuk, damai, moderat, toleran dan tentu saja menghargai perbedaan. Kalau kesemua ini sudah bisa kita terapkan maka itulah yang disebut moderasi beragama," sambil menerangkan konsep moderasi itu, tangan saya merogoh kantong baju mengeluarkan djisamsoe.
Sepertinya saya harus merokok biar lebih afdol dan nyaman saat menjelaskan.
"Dan ingat, moderasi ini bukan hanya untuk umat Islam tapi untuk semua penganut agama yang ada di lndonesia bahkan di seluruh dunia, bro," lanjut.
Gelo menoleh ke Ammar. "Dengar itu, Ammar," ketus Gelo.
Ammar manggut manggut tanda mengerti.
"Sebagai negara yang dikenal sebagai megadiversity country atau negara yang memiliki tingkat keragaman yang sangat luar biasa maka kita perlu instrumen untuk mengelola keberagaman ini agar tetap bersatu dalam wadah NKRI.
Karena sangat berbahaya bila kita lengah.
Negara bisa hancur. Banyak contoh negara yang hancur. Bahkan Rusia dan Ukraina yang lagi perang saat ini, dulu kan bersatu dalam satu negara bernama Uni Sovyet.
" Nah,moderasi beragama inilah instrumen yang merawat kesatuan itu," papar saya panjang kali panjang.
"Terus apa karburator dari moderasi itu, bang?," Gelo bertanya.
"Teai (bukan) karburator, bapak! Indikator, Motor kapang, karburator!!," sela Ammar tertawa.
"Indikator moderasi itu ada empat, apa itu?," saya melanjutkan.
"Pertama, Komitmen, kebangsaan yang tinggi. Kedua, toleransi. Ketiga, sikap anti kekerasan. Dan keempat, bersikap akomodatif terhadap kebudayaan lokal.
lnilah karburator ehh indikator moderasi itu, sayangku," pungkasku lalu saya mematikan rokok di asbak.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 16.03.
Saatnya pulang kantor.
Saatnya kembali ke habitat.