JAGAI ANAKTA
Oleh Dr. H. Kaswad Sartono
Jum'at pagi kemarin (14/7/2023), saya diminta menjadi narasumber pengajian Majelis Taklim binaan Bagian Kesra Kota Makassar di Masjid Nurul Ilham Kantor Walikota Makassar dengan tema: “Jagai Anakta”.
Tema ini sangat menarik dan amat berkepentingan bagi saya, baik kapasitas saya sebagai orang tua, Kepala Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan dan Kerjasama (AAKK) UIN Alauddin, maupun sebagai Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Makassar. Kenapa? karena “jagai anakta” memiliki kandungan nilai-nilai kehidupan secara substansi dan komprehenship, paling tidak ada lima nilai yaitu (1) nilai religiusitas, Jagai anakta memiliki nilai-nilai keagamaan yakni upaya penanaman, pemahaman dan pengamalan nilai-nilai keagamaan baik aspek aqidah, syariah maupun akhlak muamalah, sehingga umat beragama memperoleh kebaikan dunia akhirat serta terhindar dari siksa api neraka. (2) nilai edukasi. Jagai anakta mempunyai nilai mempersiapkan dan membekali anak secara maksimal baik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik; baik dari aspek keagamaan, kemanusiaan, maupun sosial kebangsaan; baik edukasi informal, formal, maupun nonformal. (3) nilai sosiologis. Jagai anakta mempunyai nilai-nilai sosial kemasyarakatan yakni sebagai upaya deteksi dini dari masalah sosial yang kerap melibatkan anak-anak baik sebagai subjek maupun objek kekerasan, narkoba, pencurian, bentrok antarkelompok dan patologi sosial lainnya. (4) nilai kantibmas. Jagai anakta memiliki nilai preventif dan kolaboratif dalam mewujudkan kota Makassar yang religi, maju, modern dan aman-damai sesuai dengan aturan, norma dan agama. Dan (5) nilai masa depan. Jagai anakta memiliki nilai mempersiapkan anak-anak sebagai generasi pelanjut estafet kepemimpinan masa depan, baik pemimpin formal maupun nonformal.
“Anak” menurut Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab, Lc, MA memiliki dua pengertian: pertama, anak dalam pengertian biologis yaitu anak yang kedudukannya disebabkan oleh faktor kelahiran, nasab dan keturunan; Kedua, anak dalam pengertian ideologis yaitu anak yang kedudukannya disebabkan oleh ikatan-ikatan nilai, misalnya kemanusiaan, kepatuhan, ikatan batiniah, dan kesamaan pandangan. Dalam membahas kedua pengertian anak itu (biologis dan ideologis) baik Al-Qur’an maupun hadis Nabi menggunakan beberapa term yaitu aulad, al-banun, al-dzurriyah, thifl, shabiy, dan ghulam.
Dalam perspektif demografi, anak biologis bisa jadi jumlahnya terbatas, sedangkan anak ideologis jumlahnya bisa tak terbatas (unlimited), bahkan bisa berkesinambungan dari tahun ke tahun, dari masa ke masa.
Bagi seseorang yang memiliki profesi sebagai guru, pendidik, dan/atau dosen, berapa anak ideologisnya? sungguh tak terhitung secara matematis. Jika berhasil mengimplementasikan “jagai anakta” secara baik dalam aktivitas menjaga, mendidik, dan mengawasi anak-anaknya itu sesuai nilai-nilai agama, pendidikan, dan kultur budaya, maka pahalanya akan mengalir sebagai jariyah, nama baik mereka dikenang sepanjang masa sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” serta didoakan sepanjang zaman.
Jum’at pagi itu, di hadapan ratusan ibu-ibu dari Kecamatan Tallo dan Makassar itu, saya mengambil dalil naqliyah at-Tahrim ayat 6: “ يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم واهليكم نارا“ dan pesan petuah sahabat terbaik Nabi Saw Ali bin Abi Thalib r.a “علموا اولادكم لأنهم مخلوقون لغير زمانكم"
Kedua pijakan keislaman itu saya pandang untuk penyesuaian dengan kadar intelektualitas dan kebutuhan ibu-ibu majelis taklim dalam ikutserta menyukseskan program Walikota Makassar Moh. Ramdhan “Danny” Pomanto yaitu program Jagai Anakta, Jagai Lorongta dan Jagai Makassarta”
“Menjaga Anak” dalam perspektif religiusitas dan sosiologis di era digital saat ini, apalagi di kota metropolitan seperti Makassar, bukanlah pekerjaan mudah, namun membutuhkan niat dan motivasi kuat, kinerja yang sistemik, konsistensi, tanggung jawab dan kolaboratif.
Terus terang, ketika saya menyelami secara mendalam term kultural “jagai anakta” dalam perspektif sosial keagamaan, saya langsung ingat pesan Gurutta KH Bahusen Salman, Imam Masjid Raya Parepare kepada saya di tahun 1989. Beliau berpesan: “Engka si’di wettu matu, bosi masigi, lempe papangaja, talle akapiringnge” (akan datang suatu zaman nanti, hujan masjid, banjir pemberi nasihat, nampak kekafiran).
Karena waktu itu, saya belum banyak tahu tentang Bahasa Bugis, saya tanya balik kepada ulama yang juga paman H.M Alwi Hamu itu, apa maksudnya itu Gurutta? Beliau menjelaskan bahwa suatu saat nanti umat Islam di Bugis Makassar akan menghadapi masa, dimana Hujan Papangaja, artinya banyak sekali pemberi nasihat, penceramah, dai ustadz/ah, ulama, dosen, guru dan penyuluh agama; Banjir Masjid maksudnya waktu itu masjid-masjid dibangun di mana-mana (saling berdekatan); namun dalam perilaku kemasyarakatan juga terjadi “talle akapiringnge”, begitu nampak kekafiran, kemungkaran, kekerasan, penyalahgunaan narkoba, korupsi, dan pelanggaran lainnya.
Gimana dengan Makassar hari ini? Masjid di Makassar tahun 2021 sebanyak 1.077 buah yang saling berdekatan; Berapa sekolah/madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi serta ormas keagamaan? Lalu, berapa ulama, khotib, muballigh, guru, dosen dan penyuluh agama? Pasti jawabnya, sangat banyak secara kuantitatif.
Saya juga mengakui dan syukur alhamdulillah, para takmir masjid di Makassar sangat baik dalam mengoperasionalisasikan fungsi masjid secara maksimal, baik dalam aspek idarah, imarah, maupun riayah. Kemudian juga para ulama, muballigh, guru, dosen, dan penyuluh agama sudah bekerja dan berkolaborasi. Kenapa masih ada kekafiran, kemungkaran dan penyalahgunaan? Jawabnya pasti terkait dengan hidayah, kesadaran, keistiqomahan, efektivitas program, nafsu dan dinamika keduniaan.
Menghadapi tantangan kehidupan anak-anak yang pasti berbeda jauh dengan tantangan orang tuanya, sebagai orang tua wajib optimis, bahwa setiap keluarga dan lembaga memiliki potensi yang besar dalam melahirkan anak-anakyang cerdas dan sholih sebagaimana keberhasilan nabi Ibrahim dalam mendidik dan mengkader Ismail putranya”. Sekaligus selalu berdoa: “semoga putra-putri kita senantiasa memperoleh hidayah seperti nabi Ismail, dan jauhkanlah mereka dari perilaku kesesatan dan kedurhakaan Qabil putra nabi Adam dan Kan’an putra nabi Nuh alaihissalam”. Amin.
Makassar, 15 Juli 2023
H. Kaswad Sartono
- Kepala Biro AAKK UIN Alauddin
- Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Makassar