Oleh : Armin, SS
Penulis adalah Penghulu Muda pada KUA Pallangga Kabupaten Gowa
Berbagai macam problematika administrasi pencatatan kependudukan dalam hal pernikahan di Indonesia adalah klasiknya permasalahan yang terbagi atas tercatat dan yang tidak tercatat dengan banyak faktor yang mempengaruhi. Salah satu sisi yang sangat mempengaruhi adalah keterkaitan dengan faktor finansial.
Pencatatan pernikahan atau pencatatan nikah mempunyai misi untuk menjadikan pernikahan itu terdokumentasikan, bagi pasangan pengantin, keluarga dan bagi siapapun juga yang membutuhkan. Hal ini dikarenakan data dapat diidentifikasi pada dokumen yang sesuai aturan dan tercatat dalam suatu sistem administrasi yang mengakomodir data tersebut. Jadi setiap saat bisa dipakai pada kebutuhan data kependudukan, seperti buku nikah sebagai evidence yang dapat dipertanggungjawabkan.Dengan dokumen dimaksud, dapat menjadi pendukung suatu perbuatan yang lain yang berkosekuensi hukum dalam pernikahan.
Di sisi lain dengan adanya perubahan biaya untuk pencatatan nikah diluar kantor yang ditetapkan berdasarkan PP 48/2014 dengan nominal Rp. 600.000, yang mengganti PP 47/2004 dengan nominal Rp. 30.000 sebelumnya, hal ini menyebabkan pegawai pencatat nikah atau penghulu yang sebelumnya tidak memiliki kejelasan aturan dalam memungut biaya dalam pelayanan nikah diluar kantor menjadi sebuah angin segar bagi para penghulu.
Sehingga berimplikasi pada kesejahteraan untuk mengcounter anggapan serta cara pandang minor yang berasal dari masyarakat terhadap penarikan biaya tidak sesuai dan gratifikasi baik yang ditarik oleh penghulu ataupun Kepala KUA. Hal ini dikarenakan besaran yang tidak pasti dikarenakan kebutuhan riil dari penghulu yang memerlukan biaya transportasi untuk menghadiri pencatatan pernikahan.
Pelaksanan regulasi dalam Peraturan Pemerintah nomor 48 tahun 2014 yang mengatur biaya nikah diluar balai nikah dalam urusan pernikahan di KUA Kecamatan menjadi sebuah harapan yang menjanjikan bagi stakeholder pelaksana pernikahan, sekaligus menjadi keuntungan tersendiri bagi penghulu dan masyarakat, karena sudah bisa menepis isu dan memutus praktik gratifikasi oleh masyrakat kepada petugas pelayanan nikah dari kantor urusan agama.
Pemerintah merubah regulasi mengenai biaya nikah melalui system penerimaan Negara bukan pajak dari biaya nikah, guna untuk memperbaiki kesejahteraan penghulu sekaligus menghindari kejadian gratifikasi yang dilakukan oleh salah seorang petugas pernikahan di Jawa Timur beberapa tahun yang lalu. Berawal dari kasus tersebut maka pemerintah langsung mengambil kebijakan dengan menerbitkan regulasi yang akan lebih mempermudah penghulu dalam melaksanakan tugas dan fungsinya karena kesejahteraan sudah dinaikkan dengan harapan tidak ada lagi issu-issu tentang gratifikasi bagi petugas pelayanan nikah diluar Kantor Urusan Agama.
Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 juga ditujukan untuk menjawab berbagai persoalan yang ada dalam Kementerian Agama khususnya persoalan nikah dan rujuk yang menjadi kebutuhan fundamental bagi masyarakat.
Implikasi penerapan PP No 48 tahun 2014 bagi penghulu, birokrasi, dan masyarakat diantaranya adalah memberikan kepastian dalam hal biaya nikah dan rujuk serta pendapatan penghulu jika melaksanakan pernikahan di luar kantor atau di luar jam kerja. Selanjutnya penerapan PP No 48 Tahun 2014 juga menambah tahapan birokrasi yang harus dilalui oleh masyarakat yang ingin mendaftarkan nikah secara langsung di Kantor Urusan Agama.
Selain itu penerapan PP No 48 Tahun 2014 juga akan berimplikasi banyak terhadap peristiwa gratifikasi penghulu yang selama ini menjadi salah satu faktor terbitnya PP No 48 Tahun 2014.
Sebelum membahas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014, perlu kita pahami bersama pengertian pencatatan perkawinan. Ada beberapa analisis yang dapat dijelaskan mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih walaupun ada ayat Al-Qur'an yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah, yaitu pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an. Kedua, tradisi walimat al-‘urusy. Ketiga, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal Islam belum terjadi antar wilayah yang berbeda. Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan.
Sejalan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Masyarakat menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan.
Sejalan dengan kebijakan ini, potret ini terjadi juga di berbagai KUA kecamatan mengenai fenomena sebelumnya semasa PP 47/2004 yang masih memberlakukan pembayaran biaya nikah diluar kantor dengan jumlah Rp. 30.000,- per peristiwa, maka dari itu penulis sangat tertarik untuk membuat tulisan mengenai isu tersebut seiring dengan di berlakukanya PP 48/2014 untuk mencegah praktik-praktik gratifikasi di KUA kecmatan.
Pemerintah sangat merespon kejadian-kejadian yang berkaitan dengan regulasi perkawinan memiliki prosedur tatacara pelaksanaan tersendiri. Perkawinan yang mana sesuai dengan aturan dan mekanismenya untuk menjadikan sesuatu yang pasti seperti pada PP RI No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan perkawinan. Tentu sudah mempersiapkan biaya dalam pernikahan yaitu penerapan biaya pernikahan adalah salah satu bentuk biaya yang sudah di Undang-undangkan secara tetap oleh Kementerian Agama, peraturan ini sudah jelas disebutkan bahwa dalam PP No.48 Tahun 2014 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak peraturan yang berlaku sampai saat ini.
Aturan harus diterapkan sesuai kebijakan hukum yang menjadikan pedoman bagi masyarakat yang bernegara, bilamana melanggarnya akan dikenakan sanksi. Suatu institusi, substansi, dan kulturnya seimbang dengan apa yang sudah menjadi pokok hidup damai berdasarkan dengan Agama dan Negara.
Efektivitas berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014, ada beberapa hal yang menjadi rujukan penulis, yaitu menelaah karya-karya ilmiah serta buku-buku yang ada kaitannya dengan jurnal yang penulis bahas, diantaranya : Karya ilmiah, Achmad Arief Budiman, M.Ag (NIP.196910311995031002) Dosen Fakultas Syari’ah UIN Walisongo Semarang, dalam karya ilmiah yang berjudul ”Praktek Gratifikasi Dalam Pelaksanaan Pencatatan Pernikahan” (Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Kota Semarang).
Dalam karya ilmiahnya tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan pencatatan pernikahan sering terjadi praktek pemberian gratifikasi dari pihak mempelai kepada penghulu KUA. Alasannya, karena pelaksanaan pernikahan banyak yang dilakukan di luar kantor dan di luar waktu efektif kerja.
Disamping itu penghulu KUA terkadang melakukan pekerjaan lain yang diminta pihak mempelai di luar tugasnya, seperti bertindak sebagai wakil wali nikah dan memberikan doa serta khutbah nikah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan pernikahan di wilayah KUA Kecamatan masih sering terjadi praktek gratifikasi, baik sebelum maupun setelah adanya pemberlakuan PP 48/2014.
Sebelumnya praktek gratifikasi dianggap sebagai hal yang wajar baik oleh masyarakat maupun oleh penghulu. Praktek gratifikasi ini terjadi dengan frekuensi yang tinggi. Sedangkan setelah ada pelarangan masih terjadi beberapa praktek gratifikasi, meskipun dengan frekuensi yang rendah.
Artinya, implementasi PP Nomor 48 Tahun 2014 yang diharapkan dapat menghilangkan praktek gratifikasi, baru berjalan secara parsial dan belum sepenuhnya efektif.
Penerapan kebijakan pemerintah dengan memberlakukan PP 48/2014 memang diakui tidak serta merta bisa menghilangkan praktek gratifikasi yang ada di lapangan, tetapi lambat tapi pasti praktek pungli atau gratifikasi berkurang di masyarakat, ini berarti pemberlakuan peraturan pemerintah tersebut masih sangat dibutuhkan dalam menangkal praktek gratifikasi yang ada dilapangan demi mengurangi issu-issu yang tidak baik bagi aparatur Negara dibidang kepenghuluan dan ini harus dijawab dengan semangat tinggi oleh aparatur Kementerian Agama dalam menegakkan moral bangsa di masyarakat.
Dalam hal masih adanya tantangan pada pemberlakuan PP 48/2014 yaitu dengan masih adanya kasus - kasus kecil yang mencederai semangat pemberantasan korupsi, hal ini perlu lebih ditingkatkan dalam hal sosialisasi kepada masyarakat mengenai adanya perubahan regulasi pencatatan nikah diamana regulasi yang ada sekarang bertujuan untuk menutup peluang gratifikasi yang dilakukan oleh penghulu, karena tunjangan dan pengembalian jasa profesi dan transport biaya nikah dikembalikan dalam bentuk PNBP oleh pemerintah pusat.
Menurut Situmorang, keberadaan tindakan pemerintah dalam mengawal implementasi kebijakan pemberlakuan PP 48/2014 merupakan hal yang sangat bagus, hal ini meliputi tentang bagaimana implementasi ditempatkan sebagai alat administrasi hukum dan juga sekaligus dipandang sebagai fenomena kompleks sebuah proses atau hasil dari kebijakan.
Situmorang juga menegaskan bahwa implementasi kebijakan adalah satu dari sekian banyak tahap kebijakan publik, sekaligus menjadi variabel terpenting yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap keberhasilan kebijakan terkait penyelesaian isu-isu public khususnya dalam kasus-kasus gratifikasi yang dalakukan oleh aparat petugas pernikahan dilapangan, tetapi kita harus optimis karena sebuah kebijakan memang tidak langsung terasa tetapi bertahap menuju kesempunaan.(OH)
Opini
Opini
Implementasi PP 48 Tahun 2014 di KUA Kecamatan Anta Berantah
- Senin, 10 April 2023 | 09:35 WIB