Bontomarannu (Humas Gowa). Indonesia dengan beragam suku dan bangsa, secara otamatis juga beragam adat kebiasaan. Kelahiran seorang anak bagi suatu keluarga disambut dengan suka cita bukan hanya ayah dan ibunya, tetapi juga keluarga besar kedua belah pihak. Sehingga prosesi setelah kelahiran tentunya juga menjadi perhatian yang cukup menyita bagi keluarga tersebut.
Rahman, salah seorang Penyuluh KUA Kecamatan Bontomarannu kerapkali diundang oleh warga bukan hanya untuk berceramah. Tetapi syukuran atau apapun hajatannya masyarakat di Kecamatan Bontomarannu belum merasa lengkap tanpa kehadiran Ustadz Rahman untuk membacakan do’a. Pinati, sering masyarakat menyebutnya demikian.
Pinati yaitu orang yang memimpin atau membimbing do’a dalam acara tersebut. Ustadz Rahman pada, Ahad (18/6/2023), memenuhi undangan Suardi warga Kel. Bontomanai pada acara Aqikah putranya yang pertama.
“Ada pencampuran adat kebiasaan yang terlihat pada acara aqikah hari itu," ujar Rahman. Menurutnya setelah memotong 2 ekor kambing, ada ritual potong rambut yang tidak langsung dipotong begitu saja. Tetapi ada pembacaan shalawat dan Barazanji.
Pada pembacaan Barazanji, ketika para Pinati yang dipimpin Ustadz Rahman sampai pada kalimat “Asyrakal Badru Alaina” mereka berdiri dan diikuti tamu undangan. “Sammaituka“ lalu menyebut nama anak tersebut dengan melafalkan do’a "Allahumma Ja’ala Sa’ruka Nural Yaumal Qiyamah (Ya Allah, Jadikanlah sehelai rambutnya cahaya pada hari kiamat), lalu menggunting rambut bayi laki – laki itu.
Dalam kitab – kitab Fiqih yang menjelaskan terkait aqikah. Rambut bayi yang telah digunting dikumpulkan dalam satu tempat lalu ditimbang dan ditakar dengan emas lalu disedekahkan kepada fakir miskin.
Namun, dalam adat kebiasaan masyarakat Bugis Makassar rambut bayi diletakkan di dalam kelapa muda yang sudah di kupas bagian atasnya sampai terlihat air kelapa tersebut.
Adat ini dipahami dengan meletakkan rambut di dalam air kelapa harapannya adalah agar anak tersebut bermanfaat seperti kelapa. Filosofi dengan menjadikan kelapa sebagai wadah dipahami bahwa kelapa seluruhnya dari akar sampai daunnya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Syara’ – syara’na itu.
Menurut Rahman selama adat kebiasaan itu tidak merusak aqidah tidak ada kemusyrikan didalamnya, tidak mengapa diikuti sesuai kemauan masyarakat. "Sambil dijelaskan secara pelan – pelan agar mereka bisa utuh pemahamannya dalam memahami syariat Islam," pungkas Rahman.(iar/OH)
Daerah
Kegiatan KUA Bontomarannu
Prosesi Aqikah di Bontomarannu, Antara Adat dan Ajaran Agama
- Senin, 19 Juni 2023 | 10:00 WIB