Maros (Humas Maros)-Moderasi beragama merupakan sikap dalam menjabarkan nilai ajaran agama kepada siapa saja.
Hal ini disampaikan Kepala Kantor Kementerian (Kakankemenag) Kabupaten Maros H. Muhammad, di hadapan 80 pendidik dan tenaga kependidikan Pesantren Nahdlatul Ulum Soreang, Maros.
“Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) tidak bisa kalau tidak ada moderasi beragama. Kalau tidak bermoderasi, di antara bisa juga dikatakan tidak patuh terhadap ajaran agama,” buka Kakankemenag Muhammad, Senin (8/7/2024).
“Kata moderasi, itu moderat, wasathiyah, asal kata wasit, tengah-tengah, ini harus berimbang. Tidak boleh, dalam pelayanan pilih kasih, dalam bertetangga pilih-pilih mana yang seagama, misalnya.
“Moderasi beragama merupakan sikap kita dalam hal menjabarkan nilai ajaran agama kepada siapa saja, tidak boleh pilih kasih. Hal ini harus dicairkan.
Terkait konteks sosial kemasyarakatan, Kakankemenag Maros Muhammad, menyampaikan bahwa sekarang, kita tidak bisa memilih untuk tidak bertetangga dengan umat Kristen misalnya. “Kondisi sekarang tidak bisa.
“Oleh karena itu, sikap dan perilaku yang mau diluruskan, bukan agamanya yang mau dimoderasi, tapi sikap beragama kita. Yang mana? Semua agama mengajarkan tidak boleh memfitnah, membunuh atau bunuh diri, mencuri, semua agama melarang.
“Tugas kita, membuka dan memberikan ruang yang sama, saling menghargai dalam konteks kebangsaan. Bersama umat yang lain, kita harus saling bahu-membahu dalam sikap-sikap umum kemasyarakatan.
“Sisi lain, agama punya perbedaan. Hal seperti ini harus dipahami, khilafiyah tidak boleh kita selalu munculkan di ruang publik. Persoalan keyakinan dalam hati kita saja. Tidak boleh menjustifikasi orang lain kafir, karena itu wilayah privat.
Setidaknya, masih menurut Kakankemenag Muhammad, ada tiga hal yang harus dipahami, mengapa moderasi beragama penting.
“Pertama, eksklusifitas dalam beragama. Ini adalah pandangan yang hanya dia, kelompoknya saja masuk surga. Ini klaim kebenaran. Misal melabeli kafir, itu pendapat wilayah privat, tidak boleh muncul dalam ruang publik.
“Kedua, setelah Orde Baru muncul konflik yang mengatasnamakan agama. Ketiga, muncul dan berkembangnya generasi yang sikap beragama kencang, tapi tidak diiringi dengan cinta NKRI. Tidak mau percaya Pancasila, tidak mau hormat Merah-putih. Ini dalam pikiran saja sudah salah, dia pikir mencederai iman. Konteksnya beda, hormat bendera itu karena kita menghormati. Itulah bibit ekstremisme.
“Ini penting juga bagi anak didik kita, karena moderasi beragama, salah satu hal urgen. Kita tidak tahu, pergaulan anak didik kita ke depan, kajian-kajian kalau sudah kuliah misalnya,” tegas Kakankemenag Muhammad sembari mengimbau agar melaporkan kalau ada ASN Kemenag yang tidak mau hormat Merah-putih.
“Tahun lalu, umat Katolik di Maros, takut pasang papan nama gerejanya, karena mungkin merasa kurang mendapat ketenangan. Sementara, kita sudah mengaku, Islam membawa ketenteraman. Syukur, kita sudah fasilitasi bersama Pemkab dan sudah terpasang papan namanya.
“Sekali lagi, dalam ruang publik, berikan hak-hak mereka. Saya berharap, program moderasi beragama jangan dipandang sebelah mata, kita harus jadi agen moderasi beragama di masyarakat.”
Untuk ekspansi moderasi beragama, “tugas kita ke depan, mencoba melakukan pendekatan dengan berdasar pada fenomena dan konteks yang terjadi di masyarakat. “10 tahun ke depan, boleh jadi yang bercadar itu memiliki paham moderat. Jadi, kita tidak boleh serta merta memakai cara pandang 10 tahun lalu,” tutup Kakankemenag Muhammad.
Hadir dalam workshop implementasi kurikulum merdeka belajar dan penguatan moderasi beragama, Rusdianto selaku pemateri IKM, Kepala Bidang V Pesantren Nahdlatul Ulum KH. Syamsul Khalik, Kepala Seksi Penmad Muhammad Yusuf Jufri, dan para pengawas madrasah. (Ulya)